- Karya Abdul Hadi W. M
Dari sederet nama penyair Indonesia
mutakhir yang sedang mapan, kita tidak dapat mengabaikan Abdul Hadi WM di
dalamnya. Sejak pertengahan tahun 1960-an Abdul Hadi telah membina
kepenyairannya, salah satu kumpulan puisinya yang bertajuk “Meditasi” merupakan
kumpulan puisi yang memperoleh hadiah sebagai buku puisi terbaik yang terbit
pada tahun 1976/1977 dari Dewan Kesenian Jakarta dan pada tahun 1979 mendapatkan
hadiah seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Dalam “Meditasi”, Abdul Hadi WM
berusaha menguraikan dan menangkap inti dari hidup dan kehidupan, suasana hati
serta pengalaman-pengalamannya; terutama mengenai kesepian, kematian dan waktu,
yang terungkap dalam sajak:
Laut
Dan aku pun memandang ke laut yang
bangkit ke arahku
selalu kudengar selamat paginya
dengan ombak berbuncah-buncah
dan selamat pagi laut kataku pula,
siapa bersamamu menyanyi setiap
malam
menyanyikan yang tak ada atau pagi atau senja? atau
kata-kata
laut menyanyi lagi, laut mendengar
semua yang kubisikkan padanya
perlahan-lahan
selamat pagi laut kataku dan laut
pun tersenyum, selamat pagi katanya
suaranya kedengaran seperti angin
yang berembus di rambutku,
igauan
waktu di ubun-ubun
dan di atas sana hanya bayang-bayang
dari sinar matahari yang kuning
keperak-perakan
dan alun yang berbincang-bincang
dengan pasir, tiram, lokan dan
rumput-rumput
di atas karang
dan burung-burung bebas itu di udara
bagai pandang asing kami
yang
lupa
selamat pagi laut kataku dan selamat
pagi katanya tertawa-tawa
kemudian bagi sepasang kakek dan
nenek yang sudah lama bercinta
kami
pun terdiam
kami pun diam oleh tulang-belulang
kami dan suara sedih kami yang
saling
geser-menggeser dan terkam-menerkam
kalau maut suatu kali mau
mengeringkan tubuh kami biarlah kering
juga
airmata kami
atau bisikan ini yang senantiasa
merisaukan engkau: siapakah di
antara
kami
yang paling luas dan dalam, air
kebalaunya atau hati kami tempat
kabut
dan sinar selam-menyelam?
Tapi laut selalu setia tak pernah
bertanya, ia selalu tersenyum dan
bangkit
ke arahku
laut melemparkan aku ke pantai dan
aku melemparkan laut ke
batu-batu
karang
andai di sana ada perempuan
telanjang atau kanak-kanak atau saatmu
dipulangkan
petang
laut tertawa padaku, selamatmalam
katanya dan aku pun tertawa pada
laut,
selamat malam kataku
dan atas selamat malam kami langit
terguncang-guncang dan jatuh ke
cakrawalan
senja
begitulah tak ada yang sebenarnya
kami tawakan dan percakapkan
kecuali
sebuah sajak lama:
aku cinta pada laut, laut cinta
padaku dan cinta kami seperti kata-kata
dan
hati yang mengucapkannya.
(1973)
Puisi “Laut” di atas merupakan
gambaran tentang kesepian yang dirasakan oleh penyair. Lewat puisi inilah si
penyair meluapkan semua yang ada di dalam hatinya, mulai dari perasaan sedih,
senang, bahagia, kesepian, dll.
Dalam puisi “Laut” penyair
menggunakan majas personifikasi. Penyair menggambarkan laut sebagai makhluk
hidup (seorang wanita). Kesepiannya membuat ia menjadikan laut sebagai wanita
yang dapat diajak bernyanyi, tertawa, merasakan kesedihan bersama.
Baginya laut adalah segalanya,
mereka telah menjadi satu-kesatuan yang sudah tak dapat dipisahkan lagi. Tetapi
semua yang dirasakannya bukanlah hal yang nyata melainkan sebuah bayangan semu
si pengarang. Meski demikian, perasaan cinta mereka hanya mereka saja yang
mengetahuinya.
Seolah “lelah” dengan gaya puisi
lamanya yang cenderung “samar dan gelap”, maka pada periode akhir 1990-an,
beliau kerap hadir dengan puisi-puisi yang bergaya ucap “terang benderang”,
seperti:
Barat
dan Timur
Barat
dan timur adalah guruku
Muslim,
Hindu, Kristen, Buddha
Pengikut
Zen atau Tao
Semua
adalah guruku
Kupelajari
dari semua orang saleh dan pemberani
Rahasia
cinta, rahasia bara menjadi api menyala
Dan
tikar sembahyang sebagai pelana menuju arasy-Nya
Ya,
semua adalah guruku
Ibrahim,
Musa, Daud, Laotze
Sidharta,
Zarathustra, Socrates, Isa Almasih
Namun
hanya pada Muhammad Rasulullah
Dan
di masjid aku berkhidmad
Walau
jejak-Nya
Kujumpai
di mana-mana
Puisi
“Barat dan Timur” menggambarkan sikap si penyair yang sesungguhnya. Penyair
merupakan sosok yang haus dengan ilmu, sehingga beliau berguru dengan siapa pun
tanpa memandang agama. Tetapi dari semua gurunya itu, hanya kepada Nabi
Muhammad dan masjidlah beliau berkhidmat. Penguasaanya terhadap filsafat Barat
dan Timur sama baiknya dan seimbang.
Tipografi
Tipografi
merupakan pembeda yang penting antara sajak dengan prosa. Penyusunan kata dalam
puisi sehingga membentuk larik dalam bait merupakan fungsi utama dari
tipografi. Tipografi yang digunakan oleh Abdul Hadi dalam puisi ini telah
menunjukkan pembaharuan dalam setiap lariknya.
Gaya Bahasa
Gaya
bahasa yang digunakan dalam puisi Abdul Hadi sangatlah sederhana, misalnya
dalam puisi “Laut”, beliau menggunakan kata-kata seperti laut, ombak, angin,
air, pasir, dan sebagainya yang membuat pembaca berimajinasi dengan pemandangan
alam tersebut, namun sangat sulit untuk menafsirkan apa yang ingin penyair
sampaikan kepada pembacanya.
- Penghargaan dan Kumpulan Puisi
Penghargaan:
- Sajak “Madura” mendapat pujian dari Redaktur Majalah Horison (1968).
- Kumpulan Sajak “Meditasi” (1976) mendapat Hadiah Buku Puisi Terbaik DKJ (1976/1977), Hadiah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI (1979), Hadiah Sastra Asean (1985).
- South-East Asia (SEA) Write Award, Bangkok, Thailand (1985).
- Anugerah Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) (2003).
Kumpulan
Puisi
- Meditasi (Budaya Jaya, 1976).
- Laut Belum Pasang (Litera, 1971).
- Cermin (Budaya Jaya, 1975).
- Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (Pustaka Jaya, 1975).
- Tergantung Pada Angin (Budaya Jaya, 1977).
- Anak Laut, Anak Angin (1983).
Pustaka Acuan
- Hadi W.M, Abdul. 1982. Meditasi. Jakarta: PN Balai Pustaka
- http://mutiaracinta.multiply.com/journal/item/136/Maut_Dan_Waktu_Dari_Meditasi_Abdul_Hadi_WM
- http://pujies-pujies.blogspot.com/2010/07/abdul-hadi-wm.html
- http://perca.blogdrive.com/archive/291.html
"Di ajukan untuk Tugas Kajian Puisi"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar