Senin, 25 April 2011

Telegram karya Putu Wijaya

Sinopsis


Telegram karya Putu Wijaya menceritakan tentang seorang lelaki yang merasa mendapat kiriman telegram. Baginya telegram selalu berisikan malapetaka seperti kematian, sakit, kecelakaan, dan kabar berita lainnya. Telegram itu dikirim dari Denpasar oleh saudara tiri si lelaki yang bermaksud untuk mengabarkan berita keluarga yang buruk dan mengharuskan dirinya untuk kembali ke Denpasar. Namun, sekarang si lelaki tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena khayalannya ini seakan-akan nyata.
Telegram itu berhenti di tangan si lelaki dan ia sudah dapat menebak isinya. Si lelaki membayangkan nasibnya, ia akan menjadi kepala rumah tangga untuk mengurus beberapa hektar tanah, tiga buah rumah tua, upacara ngaben, dan beberapa beban lainnya yang harus ia pikul. Sinta yang mengetahui adanya telegram yang baru diterima oleh si lelaki menanyakan isi telegram tersebut dan si lelaki terpaksa berbohong pada anak angkatnya. Sinta telah siap untuk pergi ke stasiun, pakaiannya resmi dan mengenakan sepatu. Si lelaki tak dapat mengelak, ini adalah penipuan. Untuk jujur pada Sinta ia tak kuasa. Saat mereka menunggu kedatangan kereta Bima yang terlambat, tiba-tiba Sinta memberikan sesuatu padanya. Sebuah telegram yang tadi malam tercecer dari sakunya.
Masih ada sisa siang untuk pergi ke dokter. Sekembalinya dari berobat si lelaki langsung ke kantor, dan penjaga kantor langsung melaporkan bahwa ada tamu yang sudah tiga kali datang ingin bertemu dengan dirinya. Si lelaki tak ingin bertemu dengan tamu-tamunya karena sudah pasti tamu itu ingin bercakap-cakap atau membawa berita cukup penting. Terlalu mengambil resiko kalau harus menjumpainya. Walau tamu itu akan membawa berita gembira, mereka tidak akan memperbaiki suasana. Untuk menghindari tamu itu, si lelaki pergi ke rumah temannya. Sewaktu sampai di rumah temannya, si lelaki menumpang untuk tidur. Pukul enam ia bangun, tanpa mandi atau cuci muka ia langsung pergi ke kantor untuk menyelesaikan cover story tentang Bali. Banyak yang ingin ditulisnya tentang Bali, tapi ia tak bisa mengemukakan gagasan tanpa bukti-bukti nyata.
Rupanya seseorang telah menulis sesuatu untuk menuangkan isi hati ibu pada anaknya. Ia membeberkan isi hatinya dan menyinggung bahwa kakak si lelaki semakin hari semakin galak dan menekan bathinnya. Di akhir surat, ibunya mengatakan bahwa ia tidak menuntut apa-apa kalau memang tidak ada biaya, asal keluarganya diikut sertakan dalam barisan penguburan. Serta tidak boleh dilupakan hubungan kekeluargaan itu, walaupun sang ibu nanti sudah pergi. Tak terbayangkan bagaimana hidup tanpa ibunya.
Si lelaki menanggalkan pakaiannya. Temperatur tubuhnya mungkin sekitar 39 derajat celcius. Setiap saat ia bergetar menahan gigil yang menusuk dari dalam. Mungkin malaria yang pernah didapatnya di Singaraja kumat lagi. Ia berjalan melewati meja para direktur, ia jelajahi seluruh isi tubuhnya untuk mengetahui seluk-beluknya. Dikenakan pakaiannya kembali dengan perasaan sedikit malu. Si lelaki memasuki ruang perpustakaan yang tentu sedikit hangat dengan harapan akan bisa memperoleh keringat.
Paginya ia mengetahui bahwa seluruh tubuhnya penuh bintik-bintik merah. Penjaga kantor menyuruhnya untuk menanggalkan baju. Mula-mula ada keinginan untuk pergi ke rumah sahabatnya, tapi tatkala istrinya mengandung, diurungkan. Terlalu berbahaya kalau sampai menular. Tatkala penjaga kantor bermaksud menjamah si lelaki, iapun langsung melarangnya. Dokter Syubah telah memeriksa bintik-bintik yang misterius itu, ia hanya menyangka si lelaki kena alergi. Kematian rasanya terlempar jauh kembali. Rupanya memang tidak terlalu mudah melepaskan hidup.
Si lelaki dan Sinta sepakat untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk berangkat ke Bali. Namu, sebelum mereka keluar rumah, ibu kandung Sinta datang dan meminta anaknya dari si lelaki. Sudah tentu permintaan itu ditolak, namun ibunya Sinta bersikeras, sehingga antara si lelaki dan ibu Sinta menyerahkan pilihan itu pada Sinta.
Akibat khayalan itu, si lelaki kemudian betul-betul bingung dengan apa yang dialaminya. Si lelaki mengalami krisis kejiwaan seperti halnya orang gila. Ia tak dapat membedakan mana yang nyata dan mana yang khayalan semata. Si lelaki kadang tersadar dari khayalannya itu, namun kemudian masuk kembali dalam khayalannya itu. Dalam khayalannya, si lelaki dan Sinta bersiap-siap berangkat ke Bali. Ia telah memesan tiket pesawat sehingga mereka tinggal berangkat saja.
Di tengah-tengah khayalannya, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk. Ia bangkit untuk membuka pintu. Ternyata, pemilik kontrakan telah berada di muka rumahnya dan memberika sepucuk surat. Secepat kilat si lelaki membuka telegram itu dan isinya sudah jelas, ibunya meninggal dunia. Telegram yang baru diterima dari pemilik kontrakan itu benar. Ibunya meninggal dunia itu bukan khayalan si lelaki, itu adalah kenyataan yang sebenarnya, sedang cerita-cerita sebelumnya adalah khayalan si lelaki saja.

Rabu, 20 April 2011

Restu dan Cinta-Mu


Bagai rembulan, cahyamu takkan pudar
Bagai mentari, sinarmu takkan hilang
Aku memang seorang pengemis
Yang selalu mengharapkan cinta

Wahai sang Penguasa Cinta
Bantulah aku untuk mendapatkannya
Mendapatkan cinta yang tulus
Setulus cinta-Mu pada hamba-hamba-Mu

Wahai sang Penguasa Cinta
Restu-Mu adalah cinta bagiku
Cinta-Mu yang takkan pernah aku lepaskan
Walau hanya untuk sedetik waktu


By: Rosmidar
Rabu, 16 Desember 2009

Senin, 11 April 2011

Potret Baru Jakarta


Awalnya rencana untuk pindah kembali ke Jakarta aku sambut dengan bahagia karena aku dan keluarga sudah lama tinggal di Matur, Sumatra Barat. Bagiku, Jakarta adalah pusat kota yang serba ada. Apapun yang kita butuhkan ada di sini, mulai dari kebutuhan sandang, pangan, dan papan, semua ada di sini. Namun kebahagiaan tersebut pupus sudah setelah aku berada di kota ini. Bagiku pusat yang menjadi kebanggaan banyak orang kini tak ada lagi. Mati. Dahulu, kota ini dapat ditempati oleh semua kalangan, akan tetapi semua telah berubah. Saat ini Jakarta telah disulap menjadi kota yang hanya dapat dirasakan bagi mereka yang berada di kalangan menengah atas dan mereka yang memiliki keahlian.
Memang, tidak semua masyarakat Jakarta menyadari hal ini. Mereka hanya memandang dari segi kemodernannya saja, tapi apabila mereka melihat dari segi lainnya, Jakarta justru telah menjadikan mereka sebagai boneka yang hanya mengisi kehidupan kota saja agar kota ini tidak mati oleh kesunyian.
“Nia, bagaimana perasaan kamu setelah sampai di sini?” tanya ayah.
“Aku seneng bisa balik lagi ke Jakarta, tapi suasananya udah beda banget yah.” jawab Nia.
“Dulu aku masih bisa bermain di lapangan depan rumah, tapi sekarang lapangannya malah udah jadi rumah.” lanjut Nia.
“Ya tiap daerah pasti kan ada perubahan, begitu juga Jakarta. Harus ada rancangan tiap tahunnya, karena Jakarta ini merupakan pusat dari berbagai macam kegiatan manusia.” jelas ayah panjang lebar.
“Oh iya, udah malem neh. Sekarang kamu istirahat sana, besok kita cari kampus yang sesuai keinginan kamu.” lanjut ayah.
§§§§§§§§§§
Pagi harinya…
“Nia… ayo bangun, udah jam berapa ini? Kamu kan mau cari kampus sama ayah.” teriak ibu dari depan pintu kamar.
“Iya bu, aku udah bangun” jawabku.
“Jangan lupa shalat subuh ya sayang!” lanjut ibu.
“Iya bu…”
Setelah kesadaranku penuh, aku pun bergegas ke kamar kecil untuk mengambil air wudhu. Seusai shalat subuh aku menyempatkan diri membuka jendela kamar agar udara pagi yang segar dapat masuk ke dalam kamar. Setelah itu aku langsung bergegas ke kamar mandi.
Pukul 06:00 pagi, ayah sudah siap untuk mengantar aku mencari kampus yang aku inginkan. Dalam perjalanan, aku melihat banyak gedung-gedung bertingkat yang berjajar dan menghiasi pemandangan kota Jakarta. Tidak hanya pemandangan kota yang aku perhatikan tapi aktifitas masyarakatnya pun tak luput dari pandanganku.
“Kenapa kamu melamun, Nia?” tanya ayah yang membuyarkan lamunanku.
“Heh, ga koq yah. Aku cuma liat-liat pemandangan aja, kan aku dah lama ninggalin Jakarta jadi aku mau liat perubahannya.” jawabku.
“Menurut kamu ada perubahannya ga?” tanya ayah lagi.
“Ada, misalnya di daerah Slipi. Dulu di sini hanya ada beberapa kendaraan aja yang lewat, tapi sekarang banyak banget, malah sampe macet segala lagi.” jawabku sok meneliti.
“Kamu ini, udah kayak tim peneliti aja.” canda ayah sambil mengelus jilbabku.
“Ya siapa tau aja pas dewasa nanti aku bisa jadi salah satu dari tim peneliti kota, hehe ^o^” jawabku sambil menimpali candaan ayah.
Setelah melihat-lihat beberapa kampus yang kami kunjungi, aku pun tertuju pada salah satu kampus yang berada di pinggiran kota Jakarta. Kampus itu merupakan kampus negeri yang bercirikan Islam. Aku langsung memantapkan diri untuk memilih kampus tersebut karena daerahnya yang belum banyak pembangunan baru.
“Yah, aku mau kuliah di sini aja.”
“Kamu udah yakin sama keputusan kamu kali ini?” tanya ayah untuk mencoba meyakinkanku.
“Yakin banget ayah… Aku udah mantep banget sama keputusanku kali ini” jawabku dengan penuh keyakinan.
§§§§§§§§§§

Siang harinya…
Setelah mengurus semua kepentingan kuliahku nanti. Di perjalanan pulang, aku melihat pemandangan yang berbeda dari yang tadi pagi aku lihat. Di jalur yang orang sebut sebagai jalur busway, banyak kendaraan yang diberhentikan di pertengahan jalur tersebut oleh polisi yang menjaganya. Aku pun mendengar perbincangan mereka karena saat itu keadaan sedang macet total dan hanya jalur busway saja yang bebas dari macet sehingga banyak pengguna kendaraan yang melewati jalur tersebut. Perbincangannya tak jauh dari soal uang.
“Selamat siang, Pak!” seru polisi itu kepada pemilik mobil.
“Selamat siang juga. Memang saya salah apa Pak?” tanya pemilik mobil tersebut.
“Bapak telah memasuki jalur yang dikhususkan untuk busway” jelas polisi itu.
“Tolong tunjukkan SIM dan STNK Bapak!” lanjut polisi itu.
Setelah pemilik mobil tersebut mengeluarkan dan menyerahkan SIM dan STNKnya kepada polisi yang menilangnya. Polisi itu pun dengan tampang serius mencatat-catat surat tilang yang ditujukan untuk pemilik mobil tersebut. Setelah polisi menyerahkan surat tilang pada pemilik mobil, pemilik mobil pun langsung tersentak kaget.
“Hah… Rp 70.000 Pak. Ga salah tuh?” tanya pemilik mobil dengan kaget.
“Saya tidak mungkin salah Pak. Saya sudah sering menilang orang yang melanggar peraturan lalu lintas seperti Bapak ini, jadi saya tidak mungkin salah.” jelas polisi itu dengan tegas.
“Tapi apa ga bisa kurang Pak, Rp 40.000 lah Pak. Saya lagi buru-buru neh”. tawar pemilik mobil.
“Tidak bisa Pak, ini sudah peraturannya.” jelas polisi itu lagi.
Dengan tampang yang terlihat kesal, pemilik mobil pun menyerahkan uang senilai Rp 70.000 kepada polisi itu. Dengan sikap malu untuk mengambilnya, polisi itu pun berdalih.
“Jangan seperti itu Pak memberikannya. Selipkan saja uang itu dibuku tilang saya.” kata polisi itu.
“Pake malu-malu segala Pak, ga apa-apa koq kalo ketahuan yang lainnya, mereka juga maklum sama sikap polisi zaman sekarang.” sindir pemilik mobil tersebut kepada polisi itu.
“Terima kasih Pak.” jawab polisi itu tanpa menghiraukan sindiran pemilik mobil.
Setelah pemilik mobil tersebut pergi melanjutkan perjalanannya dengan menggerutu, polisi itu pun masih sibuk menilang pengguna jalan lainnya yang sama-sama melanggar peraturan. Tidak jauh beda dari penilangan yang pertama, penilangan kali ini pun juga diwarnai dengan sedikit pertentangan dan adu mulut.
Dari kejadian yang aku lihat barusan, aku pun menghela nafas cukup dalam. Sedangkan ayah yang berada di sampingku tetap fokus pada pandangannya ke depan dan kerap kali melihat ke arahku yang sedikit terlihat aneh dengan kejadian yang baru aku lihat. Dalam hati aku bergumam “Inikah yang namanya Potret Baru Jakarta”, di mana setiap orang lebih mementingkan diri sendiri tanpa pernah memandang sekitarnya.

Senin, 04 April 2011

Jenuh

Jenuh,, inilah perasaan yang kurasa untuk saat ini. Berbagai macam tugas yang belum sempat terselesaikan kini malah semakin menumpuk hingga ketitik puncak yang harus bisa diselesaikan secepatnya. Kejenuhanku menghadapi ini semua kucoba singkirkan agar tak terasa lagi, namun pada saat-saat tertentu rasa ini kembali dan kembali lagi hingga membuatku bingung harus memulainya dari mana..
Aku ingin menghilangkan kejenuhan ini hingga tak terasa dan tak kembali lagi, namun apa daya aku hanya manusia biasa yang tak bisa berbuat banyak dalam hal ini. Aku telah mencobanya dengan bercengkrama bersama keluarga atau pun teman-teman, tapi itu semua hanya dapat menghilang sesaat saja dan tak keseluruhan..