Senin, 11 April 2011

Potret Baru Jakarta


Awalnya rencana untuk pindah kembali ke Jakarta aku sambut dengan bahagia karena aku dan keluarga sudah lama tinggal di Matur, Sumatra Barat. Bagiku, Jakarta adalah pusat kota yang serba ada. Apapun yang kita butuhkan ada di sini, mulai dari kebutuhan sandang, pangan, dan papan, semua ada di sini. Namun kebahagiaan tersebut pupus sudah setelah aku berada di kota ini. Bagiku pusat yang menjadi kebanggaan banyak orang kini tak ada lagi. Mati. Dahulu, kota ini dapat ditempati oleh semua kalangan, akan tetapi semua telah berubah. Saat ini Jakarta telah disulap menjadi kota yang hanya dapat dirasakan bagi mereka yang berada di kalangan menengah atas dan mereka yang memiliki keahlian.
Memang, tidak semua masyarakat Jakarta menyadari hal ini. Mereka hanya memandang dari segi kemodernannya saja, tapi apabila mereka melihat dari segi lainnya, Jakarta justru telah menjadikan mereka sebagai boneka yang hanya mengisi kehidupan kota saja agar kota ini tidak mati oleh kesunyian.
“Nia, bagaimana perasaan kamu setelah sampai di sini?” tanya ayah.
“Aku seneng bisa balik lagi ke Jakarta, tapi suasananya udah beda banget yah.” jawab Nia.
“Dulu aku masih bisa bermain di lapangan depan rumah, tapi sekarang lapangannya malah udah jadi rumah.” lanjut Nia.
“Ya tiap daerah pasti kan ada perubahan, begitu juga Jakarta. Harus ada rancangan tiap tahunnya, karena Jakarta ini merupakan pusat dari berbagai macam kegiatan manusia.” jelas ayah panjang lebar.
“Oh iya, udah malem neh. Sekarang kamu istirahat sana, besok kita cari kampus yang sesuai keinginan kamu.” lanjut ayah.
§§§§§§§§§§
Pagi harinya…
“Nia… ayo bangun, udah jam berapa ini? Kamu kan mau cari kampus sama ayah.” teriak ibu dari depan pintu kamar.
“Iya bu, aku udah bangun” jawabku.
“Jangan lupa shalat subuh ya sayang!” lanjut ibu.
“Iya bu…”
Setelah kesadaranku penuh, aku pun bergegas ke kamar kecil untuk mengambil air wudhu. Seusai shalat subuh aku menyempatkan diri membuka jendela kamar agar udara pagi yang segar dapat masuk ke dalam kamar. Setelah itu aku langsung bergegas ke kamar mandi.
Pukul 06:00 pagi, ayah sudah siap untuk mengantar aku mencari kampus yang aku inginkan. Dalam perjalanan, aku melihat banyak gedung-gedung bertingkat yang berjajar dan menghiasi pemandangan kota Jakarta. Tidak hanya pemandangan kota yang aku perhatikan tapi aktifitas masyarakatnya pun tak luput dari pandanganku.
“Kenapa kamu melamun, Nia?” tanya ayah yang membuyarkan lamunanku.
“Heh, ga koq yah. Aku cuma liat-liat pemandangan aja, kan aku dah lama ninggalin Jakarta jadi aku mau liat perubahannya.” jawabku.
“Menurut kamu ada perubahannya ga?” tanya ayah lagi.
“Ada, misalnya di daerah Slipi. Dulu di sini hanya ada beberapa kendaraan aja yang lewat, tapi sekarang banyak banget, malah sampe macet segala lagi.” jawabku sok meneliti.
“Kamu ini, udah kayak tim peneliti aja.” canda ayah sambil mengelus jilbabku.
“Ya siapa tau aja pas dewasa nanti aku bisa jadi salah satu dari tim peneliti kota, hehe ^o^” jawabku sambil menimpali candaan ayah.
Setelah melihat-lihat beberapa kampus yang kami kunjungi, aku pun tertuju pada salah satu kampus yang berada di pinggiran kota Jakarta. Kampus itu merupakan kampus negeri yang bercirikan Islam. Aku langsung memantapkan diri untuk memilih kampus tersebut karena daerahnya yang belum banyak pembangunan baru.
“Yah, aku mau kuliah di sini aja.”
“Kamu udah yakin sama keputusan kamu kali ini?” tanya ayah untuk mencoba meyakinkanku.
“Yakin banget ayah… Aku udah mantep banget sama keputusanku kali ini” jawabku dengan penuh keyakinan.
§§§§§§§§§§

Siang harinya…
Setelah mengurus semua kepentingan kuliahku nanti. Di perjalanan pulang, aku melihat pemandangan yang berbeda dari yang tadi pagi aku lihat. Di jalur yang orang sebut sebagai jalur busway, banyak kendaraan yang diberhentikan di pertengahan jalur tersebut oleh polisi yang menjaganya. Aku pun mendengar perbincangan mereka karena saat itu keadaan sedang macet total dan hanya jalur busway saja yang bebas dari macet sehingga banyak pengguna kendaraan yang melewati jalur tersebut. Perbincangannya tak jauh dari soal uang.
“Selamat siang, Pak!” seru polisi itu kepada pemilik mobil.
“Selamat siang juga. Memang saya salah apa Pak?” tanya pemilik mobil tersebut.
“Bapak telah memasuki jalur yang dikhususkan untuk busway” jelas polisi itu.
“Tolong tunjukkan SIM dan STNK Bapak!” lanjut polisi itu.
Setelah pemilik mobil tersebut mengeluarkan dan menyerahkan SIM dan STNKnya kepada polisi yang menilangnya. Polisi itu pun dengan tampang serius mencatat-catat surat tilang yang ditujukan untuk pemilik mobil tersebut. Setelah polisi menyerahkan surat tilang pada pemilik mobil, pemilik mobil pun langsung tersentak kaget.
“Hah… Rp 70.000 Pak. Ga salah tuh?” tanya pemilik mobil dengan kaget.
“Saya tidak mungkin salah Pak. Saya sudah sering menilang orang yang melanggar peraturan lalu lintas seperti Bapak ini, jadi saya tidak mungkin salah.” jelas polisi itu dengan tegas.
“Tapi apa ga bisa kurang Pak, Rp 40.000 lah Pak. Saya lagi buru-buru neh”. tawar pemilik mobil.
“Tidak bisa Pak, ini sudah peraturannya.” jelas polisi itu lagi.
Dengan tampang yang terlihat kesal, pemilik mobil pun menyerahkan uang senilai Rp 70.000 kepada polisi itu. Dengan sikap malu untuk mengambilnya, polisi itu pun berdalih.
“Jangan seperti itu Pak memberikannya. Selipkan saja uang itu dibuku tilang saya.” kata polisi itu.
“Pake malu-malu segala Pak, ga apa-apa koq kalo ketahuan yang lainnya, mereka juga maklum sama sikap polisi zaman sekarang.” sindir pemilik mobil tersebut kepada polisi itu.
“Terima kasih Pak.” jawab polisi itu tanpa menghiraukan sindiran pemilik mobil.
Setelah pemilik mobil tersebut pergi melanjutkan perjalanannya dengan menggerutu, polisi itu pun masih sibuk menilang pengguna jalan lainnya yang sama-sama melanggar peraturan. Tidak jauh beda dari penilangan yang pertama, penilangan kali ini pun juga diwarnai dengan sedikit pertentangan dan adu mulut.
Dari kejadian yang aku lihat barusan, aku pun menghela nafas cukup dalam. Sedangkan ayah yang berada di sampingku tetap fokus pada pandangannya ke depan dan kerap kali melihat ke arahku yang sedikit terlihat aneh dengan kejadian yang baru aku lihat. Dalam hati aku bergumam “Inikah yang namanya Potret Baru Jakarta”, di mana setiap orang lebih mementingkan diri sendiri tanpa pernah memandang sekitarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar